Beberapa waktu yang lalu Indonesia merayakan
kemerdekaannya. Kemerdekaan yang di dapatkan melalui berbagai
perjuangan, baik itu secara diplomatik, maupun dengan perang. Berbagai upaya
yang dilakukan saat itu, tidak terlepas dari satu faktor penting, yaitu
pendidikan. Kita bisa melacak bagaimana awal munculnya nasionalisme pemuda
Indonesia, mulai dari munculnya tokoh macam Tirto Adhi Suryo, Dr. Sutomo, R.A
Kartini, Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Semaoen, Muhammad Yamin, Sutan
Syahrir, Mohammad hatta, hingga Soekarno.
Dari tokoh-tokoh pergerakan awal tersebut, kita dapat
melihat bagaimana nasionalisme mereka bangkit pasca masuknya pendidikan barat
ke Indonesia, melalui kebijakan Politik Etis (Irigasi, Emigrasi, dan Edukasi),
yang diprakasai oleh politisi Belanda, C. Th. Van Deventer. Meskipun pada
awalnya kebijakan Politik Etis, terutama dalam edukasi, dimaksudkan untuk
memperoleh tenaga kerja terdidik yang murah dari kalangan pribumi, namun tetap
saja pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda mampu membuka mata
beberapa pelajar muda Indonesia. Salah satu tokoh pergerakan Indonesia, dengan
kesadaran nasionalisme paling awal, Tirto Adhi Suryo.
Tirto Adhi Suryo merupakan salah satu murid sekolah
kedokteran STOVIA di Batavia. Namun, ia memutuskan keluar dari STOVIA karena
melihat berbagai ketidakadilan terjadi pada masyarakat. Setelah keluar, ia
fokus menulis di media massa untuk menyebarkan kritiknya terhadap pemerintah
Belanda Bahkan dengan bekal pengetahuan yang ia dapat di STOVIA, terutama karena
bahasa Belanda yang ia pelajari, ia mampu berinteraksi dengan pengetahuan barat
dan akhirnya mendirikan surat kabar sendiri, yaitu Medan Priaji serta organisasi Syarekat Dagang
Islam, yang kemudian berganti nama menjadi Sarekat Islam, organisasi terbersar
di Indonesia sebelum kemerdekaan, yang memperjuangkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia kelas bawah.
Berdasarkan uraian singkat diawal, dapat kita lihat
bagaimana peran penting pendidikan untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan saat
Jenderal Soedirman bergerilya dengan menggunakan senjata, Ki Hajar Dewanta
sudah terlebih dahulu bergerilya kedesa-desa dengan membawa buku untuk mendidik
masyarakat desa. Tan Malaka, salah satu tokoh kemerdekaan Indonesia yang
terlupakan, berkeyakinan bahwa kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan
adanya pendidikan kerakyatan. Dimana ia menegaskan tujuan pendidikan saat itu
adalah untuk kesejahteraan rakyat dan meruntuhkan kolonialisme.
Namun saat ini, puluhan tahun setelah Indonesia
merdeka, pentingnya pendidikan untuk masyarakat semakin memudar, hal ini tidak
disebabkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan berangsur-angsur
menghilang, tapi disebabkan ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses
pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Pada tahun 2012 , dari seluruh anak
usia 19 – 24 tahun di Indonesia, hanya 28% saja yang dapat melanjutkan ke
Perguruan Tinggi (Kemendikbud.go.id), dimana 72% sisanya langsung bekerja,
menikah, atau menganggur.
Rendahnya angka ini merupakan sebuah ironi untuk
Indonesia. Dimana jika kita melihat UUD 1945, Pasal 31 Ayat 1, dimana setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan, atau ayat 3, yang menegaskan bahwa
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika kita teliti melihat Pasal 31 Ayat 1, maka ketika
warga negara berhak mendapat pendidikan, maka secara otomatis negara memiliki
kewajiban untuk menyediakannya. Lalu pada Ayat 3, dimana negara seharusnya
menyelenggarakan atau mengusahakan satu sistem pendidikan nasional, guna
mencerdaskan kehidupan bangsa, saat ini malah terkesan berusaha lepas tangan
terhadap pendidikan.
Ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses perguruan
tinggi, dikarenakan biaya kuliah yang dewasa ini sangatlah mahal. Hal ini tidak
terlepas dari perubahan cara pandang pemerintah dalam melihat pendidikan. Saat
ini pendidikan bukan merupakan hak warga yang harus dipenuhi oleh pemerintah,
melainkan sebuah jasa yang bisa diperjual belikan, hal ini diatur dalam Perpres
No. 76 dan No.77 Tahun 2007. Tentu saja ketika pendidikan menjadi komoditas,
maka hanya mereka yang memiliki uang yang mampu menikmatinya.
Tidak hanya menjadikan pendidikan sebagai barang
dagangan, pemerintah saat ini pun menuntut institusi pendidikan, terutama
perguruan tinggi untuk mampu mandiri dalam mencari pendanaan untuk kegiatannya.
Tuntutan ini dibarengi dengan semakin berkurangnya anggaran yang diberikan oleh
pemerintah kepada perguruan tinggi. Hal ini pada akhirnya merubah pengelolaan
perguruan tinggi menjadi seperti mengelola perusahaan, karena dituntut untuk
mampu mencari pendanaan sendiri.
Penggunaan logika perusahaan ini dapat terlihat pada
kebijakan perguruaan tinggi dalam mengelola berbagai unit bisnisnya, seperti
penyewaan fasilitas perguruan tinggi, hingga kerja sama dengan berbagai
perusahaan swasta. Namun hasil dari unit bisnis ini tentu saja tidaklah mampu
menutupi berbagai kegiatan perguruan tinggi, hal ini dikarenakan kemampuan
orang-orang yang menjalankan perguruan tinggi adalah akademisi, yang tidak
sepenuhnya memiliki kemampuan dalam menjalankan perusahaan.
Permasalahan kemampuan dalam menjalankan perguruan
tinggi dengan menggunakan logika perusahaan pada akhirnya menjadikan mahasiswa,
sebagai pelajar menjadi korban dengan cara menaikan biaya kuliah. Menaikan biaya
kuliah merupakan jalan pintas dalam mencari pendanaan guna menjalankan
perguruan tinggi. Sehingga hal ini menjadi penyebab semakin berkurangnya
masyarakat kelas menengah bawah dalam mengakses pendidikan.
Saat ini tidaklah aneh jika masyarakat tidak lagi memiliki
penghargaan yang tinggi terhadap anak yang mampu kuliah di perguruan tinggi
Negeri, hal ini tentu saja berbeda dengan tahun-tahun 1980 hingga 1990an. Jika
pada tahun tersebut anak yang mampu kuliah di perguruan tinggi Negeri,
masyarakat akan berkomentar “Wah hebat ya bisa kuliah disana, pasti pintar”,
maka saat ini komentar yang paling sering kita dengar “Wah hebat ya bisa kuliah
disana, bayar berapa?”. Perubahan pandangan ini tentu saja karena masyarakat
mengerti bagaimana mahalnya biaya kuliah saat ini.
Tentu saja mahalnya pendidikan saat ini tidak hanya
merubah cara pandang masyarakat, namun juga merubah cara pandang mahasiswa yang
keluarganya merasakan biaya kuliah yang mahal. Dimana orang tua dituntut untuk
bekerja lebih keras untuk mampu membiayai pendidikan anaknya, sehingga anaknya
dituntut untuk kuliah yang rajin dan cepat lulus sehingga bisa kerja agar bisa
mengembalikan uang yang digunakan untuk membiayai kuliah yang mahal tersebut.
Tak peduli ilmu yang ia dapat di perguruan tinggi tersebut mampu dipergunakan
dalam pekerjaannya.
Sehingga jangan heran jika hingga sekarang Indonesia
tidak mampu menyejahterakan masyarakatnya, karena pendidikan yang sejatinya
untuk menyejahterakan masyarakat, saat ini tidak lebih hanya menjadi modal
untuk bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Seharusnya mulai saat ini kita
sadar, bahwa jargon yang selama ini kita dengar tentang kemerdekaan pendidikan
hanya omong kosong belaka, karena selain tidak semua orang tidak merdeka dalam
mengakses pendidikan, saat ini pendidikan tidak lebih hanya sebagai barang
dagangan yang tidak lagi diperuntukan untuk kemerdekaan kita sebagai manusia.